Dua Politik dari Dua Kepentingan Tak Terdamaikan

Zely Ariane*

Ada tiga hal yang paling mungkin dapat membatalkan rencana kenaikan harga BBM. Pertama dan paling utama adalah perluasan perlawanan dan peningkatan kreativitas radikalisasi rakyat, kedua perluasan mobilisasi dan militansi anggota serikat-serikat buruh, dan ketiga polarisasi serius antara partai-partai pendukung dan penolak kenaikan BBM di DPR.

Tulisan ini bertujuan menbandingkan dua politik perlawanan yang sedang mewarnai penolakan rencana kenaikan BBM kali ini. Walau politik semacam ini tentu saja tidak muncul belakangan, melainkan sudah menjadi ciri khas politik Indonesia. Politik pertama adalah politik yang anti partisipasi massa, politik lobi-lobi, politik tipu-tipu atau, pada konteks situasi saat ini, politik cuci tangan dan selamatkan muka. Politik kedua adalah politik pergerakan rakyat, yang mendorong partisipasi langsung, aksi-aksi langsung, hingga kemandirian politik rakyat dari politik yang pertama. Dengan demikian politik kedua yang saya maksudkan secara langsung membedakan dirinya dengan “politik pengerahan massa” atas berbagai tujuan anti demokrasi atau kepentingan elit tertentu.

Politik Cuci Tangan dan Selamatkan Muka

Mengharapkan hal yang ketiga dapat terjadi, berdasarkan rekam jejak politik partai-partai yang duduk di DPR saat ini, hampir bisa dipastikan mustahil. Seperti maling kesiangan, manuver walk out dalam sidang pembahasan kenaikan harga BBM yang dilakukan Gerindra dan Hanura[1] menjadi komedi belaka ketika ditanggapi dengan  instruksi pelarangan anggota turun ke jalan, karena akan merusak citra partai[2]. Bagaimana mungkin Gerindra menggagalkan kenaikan BBM dengan walk out? Bisa saja mereka akan berkata bahwa yang penting sudah bersikap menolak melalui tindakan walk out tersebut, dan mereka tinggal cuci tangan dan selamatkan muka dengan menuding kebrengsekan pemerintahan SBY-Budiono saja. Sementara satu-satunya upaya menggagalkan rencana kenaikan BBM, melalui pengerahan massa, dilarang. Demikianlah oportunisme tulen, sejak dalam pikiran.

Bintang selanjutnya adalah PDIP. Sebuah partai ‘oposisi’ yang paling memiliki peluang ikut serta melakukan penggagalan rencana kenaikan BBM kali ini. Namun, tersebutlah Megawati, ratunya PDIP, yang sering menjilat ludahnya sendiri[3]. Terhadap rencana kenaikan BBM, Mega pada 10 Januari kembali setuju dan menyarankan kenaikan BBM[4], dan sekitar tanggal 13 Maret menyatakan bahwa partainya memutuskan menolak kenaikan harga BBM[5]. Rieke Dyah Pitaloka, salah satu dari sedikit para penyelamat wajah PDIP, mengatakan bahwa Megawati merestui mobilisasi massa menolak kenaikan BBM, sehingga cukup lumayan massa PDIP turun ke jalan di Surabaya, Solo, dan Jakarta pada 27 Maret 2012. Namun beberapa jam saja setelah mobilisasi tersebut, Megawati segera menyatakan larangan turun ke jalan dengan atribut partai[6]. Menurut Tjahyo Kumolo di TVONE sore, 27 Maret 2012, PDIP itu adalah partai TNI: Taat Nurut Instruksi Ibu Megawati. Dan tak lebih dari 12 minggu saja, sudah dua kali Megawati menjilat ludahnya sendiri.

Tak ketinggalan partai pendukung pemerintah seperti PKS, yang sudah menyurati SBY terkait penolakan mereka terhadap kenaikan BBM[7]. Bahkan kata mereka tak segan-segan dikeluarkan dari koalisi partai pendukung pemerintah. Bukankah kita sudah sering  dan mulai muak mendengar jargon-jargon kosong PKS semacam ini?

Demikianlah berbagai atraksi partai-partai kesohor yang sedang berjuang untuk menarik kembali simpati rakyat, tentu saja demi pemilu 2014 nanti, di tengah partisipasi pemilu yang terus menurun[8].  Tapi sayangnya, perjuangan mereka kurang keras untuk mencuci tangan yang sudah dekil dan selamatkan muka yang sudah tebal selama 13 tahun pasca reformasi.

Politik Pergerakan Massa

Poin pertama dan kedua di bagian atas artikel ini adalah kunci dari perubahan dimanapun di berbagai belahan dunia. Bahkan “politik pengerahan massa” yang bertujuan oportunis sekalipun, di dalam caranya, mengandung kepercayaan politik terhadap kekuatan massa: bahwa dengan massa lah perubahan bisa dilakukan. Revolusi politik dan revolusi sosial adalah wujud tertinggi kreativitas perlawanan massa yang sudah tak tahan menderita, tak mau dan tak bisa lagi diperintah dengan cara-cara yang lama.

Dalam atmosfer penolakan rencana kenaikan BBM kali ini, khususnya di minggu-minggu akhir penetapannya, 1 April 2012, kita semakin merasakan kekuatan dampak dari pergerakan massa ini. Dampak yang paling sederhana tampak dari semakin banyak kalangan yang sekarang tiba-tiba betah di depan televisi, menanti-nanti laporan situasi terbaru di lapangan, dibanding ketika televisi sekadar menyiarkan kisruh korupsi atau sengketa partai dan tingkah polahnya di DPR.

Mulai meluasnya jangkauan dan jumlah partisipasi pergerakan massa menolak kenaikan harga BBM ini ditandai dengan rangkaian aksi massa hampir di semua kota-kota besar utama di Indonesia, dengan jumlah massa ribuan sampai puluhan ribu orang terjadi di Surabaya, Medan, Jakarta, Makassar, Yogyakarta. Aksi-aksi melibatkan berbagai sektor dan organisasi masyarakat: mayoritas  mahasiswa, pemuda, pekerja, ibu-ibu rumah tangga, petani, dan nelayan. Sejauh ini mahasiswa dan buruh adalah sektor yang paling dominan terlibat di dalam berbagai aksi penolakan BBM naik. Sedangkan partisipasi spontan dari rakyat awam, sejauh pengamatan dan sumber bacaan penulis, belum didapati secara signifikan. Artinya pergerakan massa yang terjadi masih dilakukan oleh rakyat yang berada di bawah pengaruh masing-masing organisasi perlawanan. Diperkirakan tanggal 29-31 Maret akan menjadi kulminasi dari aksi-aksi berbagai sektor ini.

Keterlibatan mobilisasi akbar anggota-anggota serikat-serikat buruh terbesar di Indonesia, tak kurang dari 20 ribu (mungkin lebih) massa, adalah momentum yang baru kali ini terjadi dalam isu BBM[9]. Walaupun keterlibatannya belum meluas di banyak kota yang melakukan pergerakan menolak BBM naik, namun potensinya seharusnya sangat besar untuk dapat meluas karena inspirasi yang sudah diberikan kaum buruh lain dari kota-kota seperti Jakarta, Tangerang, dan Surabaya.

Yang lebih penting adalah perlawanan terhadap BBM ini tidak sedang terjadi di dalam kehampaan ruang politik. Di sepanjang 2011 telah terjadi berbagai mobilisasi rakyat menentang berbagai kebijakan pemerintah dan DPR yang pro terhadap kapital, anti demokrasi, dan anti rakyat miskin. Aksi-aksi kaum tani dan warga desa terkait konflik tanah dan pertambangan memuncak oleh tragedi penembakan di Bima dalam blokade warga kampung yang melibatkan lebih dari 15.000 ribu massa[10]. Pemogokan kaum buruh, yang telah lama tidak terjadi secara signifikan, kembali terjadi dalam skala politik yang lebih mengancam terkait isu upah, seperti pemogokan di Bekasi dan Tangerang[11], serta Freeport-Papua[12]. Sementara aksi-aksi mahasiswa memang tak pernah absen dari ruang politik Indonesia, walau dengan jumlah mobilisasi yang belum tambah membesar.

Terkait metode pergerakan aksi massa, cara-cara seperti blokade dan pendudukan, walaupun bukan sama sekali cara baru, kali ini lebih sering dan lebih berani dilakukan massa, tak perduli jumlah mobilisasinya. Ini menunjukkan peningkatan keberanian dan determinasi politik untuk mencapai tuntutan. Massa semakin mengerti bahwa agar berpeluang lebih besar memenangkan tuntutan di dalam sistem politik dan demokrasi di Indonesia, senjata ampuh adalah ngotot dalam pengertian yang positif.

Dalam isu-isu perluasan ruang demokrasi, seperti kebebasan berekspresi dan beragama, melawan produk UU anti demokrasi, kebebasan berserikat, melawan politik penyalahan tubuh perempuan, dst, respon perlawanan juga tidak berjeda, walau dengan partisipasi massa lebih kecil. Pergerakan massa untuk demokrasi dan kesejahteraan di Indonesia terus bergeliat dan mulai bangkit walau tidak merata di seluruh daerah dengan tingkat dukungan yang berbeda-beda.

Dalam hal kreativitas aksi untuk menggalang dukungan massa lain yang belum terlibat, pergerakan massa di Indonesia sepertinya belum banyak mengalami kemajuan. Aksi-aksi bakar ban dan penyitaan truk tangki bensin, pembakaran foto atau pengeroyokan mobil plat merah, sejauh ini hanya bersifat simbolisasi yang tidak bisa meraih dukungan massa awam lain yang belum terlibat. Televisi dan koran masih memegang peranan penting dalam perluasan penyadaran perjuangan massa. Namun monopoli pemilik modal raksasa dalam industri media membuat apa yang disebut ‘kebebasan pers’ dalam membantu pendidikan massa tidak bisa diharapkan[13].  Sehingga media jejaring sosial alternatif seperti blog, facebook, dan twitter adalah alat kreatif lain yang bisa digunakan, terlepas berbagai perdebatan pro kontra terhadapnya.

Sebetulnya terdapat beberapa hal yang belum membuat pergerakan massa menjadi politik yang benar-benar disegani dan mengancam pemerintah karena dapat meluaskan dan meningkatkan kesadaran politik rakyat, sehingga membuatnya belum mampu menandingi politik oportunis. Pertama, pergerakan massa belum disatukan oleh gagasan yang sama untuk mengubah Indonesia. Hal ini memiliki hubungan sebab akibat dan saling pengaruh dengan kedua, tidak ada media dan alat penyadaran yang sanggup menjangkau massa luas. Penyatuan gagasan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan keluasan alat penyampai gagasan tersebut. Bacaan dari organisasi-organisasi perlawanan seperti serikat buruh, tani, organisasi politik radikal, organisasi mahasiswa, LSM, media independen, buku-buku alternatif oleh penerbit-penerbit alternatif, masing-masing kemungkinan besar belum satupun mencapai angka 10 ribu, bahkan 5000 kopi saja hanya dapat dicapai oleh penerbit buku alternatif, dengan daya jangkau masih berpusat di Pulau Jawa. Belum lagi menanggapi persoalan pembakaran dan pelarangan buku yang dapat terjadi dengan maupun tanpa instruksi negara oleh kelompok-kelompok reaksioner.

Dua Kepentingan Tak Terdamaikan, Apa Solusinya?

Dua kepentingan politik yang telah diuraikan di atas adalah bertolak belakang dalam keseluruhan aspek. Yang paling utama antara lain: pertama, tujuan perjuangan bagi politik kedua adalah tatanan sosial yang lebih sejahtera, demokratis, dan setara, sedangkan politik pertama bertujuan melanggengkan tatanan sosial yang ada saat ini, bahkan memperburuknya. Kedua, cara berjuang politik kedua adalah partisipasi langsung massa, secara umum berkarakter lebih demokratis, dan bersifat berkelanjutan/terus menerus, sedangkan politik pertama dengan cara-cara penipuan, pengabaian aspirasi, penunggangan massa, anti demokrasi dan anti partisipasi langsung massa. Ketiga, keberpihakan politik dan ekonomi politik pertama adalah pada akumulasi keuntungan segelintir pemilik-pemilik modal dan korporasi internasional dan nasional yang semakin lama semakin makmur, sedangkan keberpihakan politik kedua adalah pada kepentingan mayoritas rakyat yang dimiskinkan dan yang ditindas semua potensi kemajuan dan kemanusiaannya demi kemakmuran segelintir kepentingan yang dibela politik pertama.

Dua politik ini akan selamanya bertentangan (tak terdamaikan) di dalam suatu formasi sosial yang berpihak pada akumulasi profit ketimbang kemanusiaan. Perdamaian hanya akan menjadi hasil akhir dari kemenangan politik kedua dalam melawan dan menundukkan politik pertama sekaligus mengubah watak relasi sosial dalam formasi sosial tersebut menjadi melayani kemanusiaan. Dua politik ini sesungguhnya adalah kategori penilai yang paling jitu bagi masa depan perjuangan untuk perubahan hidup seluruh manusia menjadi lebih baik.

Di penghujung kalimat, tulisan ini tidak ditujukan untuk mampu menjawab pertanyaan yang lebih krusial saat ini: bagaimana agar politik pergerakan massa melawan kenaikan BBM dapat terus bergerak menyatu dengan perlawanan terhadap berbagai kejahatan negara; dapat menjatuhkan rezim pro kapitalisme neoliberal; dapat membentuk pemerintahan dan negara yang sejahtera, demokratis dan setara? Mungkin perjuangan dan pergerakan massa sajalah, yang semakin bisa diatasi kekurangan-kekurangannya, yang akan dapat memberikan jalan keluarnya.

Yang pasti, “Derita Sudah Naik Seleher”, demikian kata Wiji Thukul.

*Anggota Partai Pembebasan Rakyat


[3] Di masa pemerintahan Megawati telah terjadi beberapa kali kenaikan harga dan penyesuaian harga BBM. Pada tahun 2008 pun Megawati mendukung pemerintah menaikkan harga BBM: http://capresindonesia.wordpress.com/2008/05/30/kenaikan-harga-bbm-tdl-telepon-megawati-minta-pengertian-dan-dukungan-rakyat/

[8] Menurut catatan Max Lane partisipasi pemilu menurut 40% dari 90% di tahun 1999 menjadi 50% di tahun 2009 lalu. Pemilu mendatang diperkirakan angka golput akan meningkat menjadi 60% http://kprm-prd-english.blogspot.com/2011/06/electoral-participation-could-drop-to.html

[9] Pada Rabu 21 Maret saja polisi sudah  melaporkan terjadi sekitar 49 aksi massa dengan partisipasi 7000-an orang: http://itoday.co.id/politik/6320-sby-digoyang-49-aksi-massa-tolak-kenaikan-harga-bbm

Share

0 thoughts on “Dua Politik dari Dua Kepentingan Tak Terdamaikan

  1. Mentah, harus dimatangkan lagi terutama oleh data, teori dan metode berpikir dialektik, agar jangan idealis–terutama tak berpikir stage dan pemanfaatan stage.

    1. Menulis itu harus mengerti sasaran pembaca. Catatan2 kaki di atas adalah data. Tulisan ini punya teori, krn itu ada kesimpulan demikian pada bagian akhir, tapi tokh teori tidak mesti diungkap dengan lugas namanya. Kalau tidak berpikir dialektik, dan tidak mengerti ‘stage’ sebab ketiga dlm kemungkinan penggagalan BBM pada tulisan di atas tidak dihitung. Hati-hati “pemanfaatan stage” justru bisa jatuh pada “stagist” dan malah tidak dialektik.

      1. Hati-hati bile tak mengeri stage maka akan jadi idealis dan kekiri-kirian–dan itu sudah terbukti sekarang ini–karena tidak mengerti sampai sejauh mana kekuatan kita dan sampai sejauh mana realitas tak bisa dipimpin, serta sampai sejauh mana realitas dikuasai dan akan didorong oleh kekuatan lain, sehingga tidak bisa memanfaatkannya untuk memudahkan perjuangan/manuver kita. Bedakan stage Lenin dengan stage Menshevik (buntutisme), dan dengan idealisme kekiri-kirian Trostky. Paham stage adalah mengerti keharusan hukum realitas, dan tak ada hubungannya dengan penundaan. Realitas tidak bisa dipahami oleh KEHARUSAN nafsu kita, namun bagaimana keharusan tersebut diolah dengan cara tetap mencari celah positif dari realitas–yang bagi orang idealis dan kekiri-kirian akan selalau negatif. Coba pelajari sejarah gerakan kiri dari mulai komite-komite aksi adhoc (1983-1987); dukungan kritis terhadap PDI-P (1996); dan keterlibatan dalam Mega-Bintang-Rakyat; untuk kepentingan stage reformasi–terutama dalam hal kebebasan berbicara dan berorganisasi dan, yang lebih penting lagi, keuntungan bagi polarisasi serikat buruh (hingga serikat buruh bisa sampai ke taraf sekarang ini). Pelajari makna stage revolusi demokratiknya Lenin–dalam teori, dalam metode berpikir dan dalam datanya.

        Ya, teori yang salah dan, data yang tidak lengkap–tidak mendalam ke obyek dan, akhirnya, tidak relevan dengan kebutuhan stage–serta tidak paham dialektika realitas. Sampai-sampai ada kesimpulan keji dan sembarangan, atau gosip–tanpa data–terhadap orang yang sedang berjuang bersiasat di partainya dan bahkan diteror rejim. Apakah tindakannya yang dapat mengangkat kembali PDI-P kemudian menafikan keuntungan tindakannya dalam meningkatkan kepercayaan ekstra parlementer sehingga berakumulasi hingga ke taraf sampai sekarang ini. Apakah karena gerakan reformasi dicuri oleh Ciganjur, kemudian kita menolak memanfaatkan hal-hal positif reformasi, terutama untuk berproganda? Apakah ketakutan bahwa PDI-P nanti akan berkuasa–dan kita tak punya kekuatan untuk menyadarkan rakyat selain DARI LUAR (dengan tak mendorongnya sampai ke puncaknya bersama seluruh kekuatan yang terlibat, bersama dengan mereka yang menguasai strategi atas dan strategi bawah), lalu kita memenjarakan politik kita dalam “ruang kiri yang suci”–yang dapat menyabot realitas dapt didiorong ke puncaknya (sesungguhnya itu raksioner!). Pelajari makna stage revolusi demokratiknya Lenin–dalam teori, dalam metode berpikir dan dalam datanya.

        Besok, 30 Maret, 2012, kelas buruh akan datang ke DPR–dicoba (mudah-mudahan bisa) allout. Akan datang dan mendukung mati-matian (jiwa raga) kah atau tidak–karena akan menguntungkan PDI-P?

        Tulisan itu hanya lah teriakan nafsu idealis dan kekiri-kirian, bombasme yang mengerikan.

    2. Juga, besok, tanggal 30 Maret 2012, massa mahasiswa yang tergabung dalam Konsolidasi Nasional Mahasiswa Indonesia (KONAMI) akan melakukan aksi ke istana lagi. Konami adalah aliansi yang aksi bentrok di Gambir tanggal 27 lalu. Lalu, apakah kita juga tidak boleh mendukung dan bergabung dalam aksi mereka karena adanya gosip Konami ditunggangi?

      Contoh lah aksi kawan-kawan di Medan. Atau contoh lah aksi kawan-kawan di Palu hari yang dalam 5 tahun terakhir untuk pertama kalinya sanggup memobilisasi 2000an orang. Aksi tersebut merupakan gabungan dari seluruh unsur gerakan kiri yang ada di Palu (PRD, PRM, FPR), kelompok mahasiswa Islam, study club, bahkan ada atribut partai Hanura yang terlihat. Bahkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak pernah demo, mau mengikuti aksi tersebut. Tentu, keterlibatan massa luas (awam) hanya lah memungkinkan jika ada atmosfer yang dapat diciptakan melalui persatuan (tanpa kekiri-kirian).

    3. Aku cabut dari sini. Bermaksud mengikuti. Tapi ada semacam kecongkakan menjawab uraian orang lain dengan menolak pelabelan. Label itu sah-sah saja, selama ada penjelasan konkret mengenai esensinya. Kenapa takut dengan label? Tokh, label itu adalah wujud hukum identitas logika formal sebagai dasar mendekati logika dialektik. Labelisasi akan tepat asalkan ada penjelasan-penjelasan mengenai itu. Saya jadi teringat pandangan Goenawan Muhammad (GM) yang kampret itu yang menolak dilabeli, pun Martin Suryajaya sudah menjelaskan panjang lebar (secara historis, ekopol, dll). Makanya GM itu oportunis bukan maen. Permisi.

  2. Susah menanggapi seseorang yang sudah merasa paling tahu dan paling benar, apalagi merasa berhak memberi label-label yang membuat sesuatu hal terkesan lebih mengerikan daripada sebenarnya. Mungkin para pembaca lain bisa melihat tulisan saya lebih jernih dan dari sisi yang berbeda dari yang Bung labeli, apalagi tujuan dari tulisan ini jelas dikemukakan di depan. Selamat beraksi all-out untuk esok hari. Tentu rakyat awam yang belum berani akan berterima kasih.

    1. 2. Label itu memang menggambarkan kenyataan kengerian dari konsekwansi tulisan kau, tak dingeri2kan serampangan.

    2. 3. Aku paham dengan etika perdebatan, tak guna merasa paling tahu dan paling benar, tak guna ujub. Lagipula kenapa berdebat harus dihantui jangan merasa paling tahu dan paling benar, kau menghantui lawan debat. Orang mengemukakan pendapat pasti merasa benar dan tahu, dan bukti merasa “paling” hanya ada di persilangan-jawab. Dan itu pun tak perlu dihantui label tsb, apalagi bila belum masuk akal pendebat.

    3. 4. Kau mengaja pembaca menjadi wasit untuk “kejernihan” tulisan kau. Bagus. Tapi bagaimana bila tak ada pembaca yang menjadi wasit? Kenapa tak punya tanggung jawab untuk menjawabnya sendiri?

    4. 7. Ya, semoga besok bisa allout–karena kau tahu sendiri kesulitannya, apalagi bila “kaum pelopor” tidak terlibat di kantung2 massa besar yang terorganisir–agar yang masih takut jadi berani. Kami tak mengharap “terima kasih”, hanya kewajiban manusiawi, pengorbanan tanpa pamrih dan total, tolong-menolong saja.

  3. 1) Kenapa memang dengan label? Label adalah abstraksi yang syah2 saja dipakai. Kecuali bila label itu salah. Jadi jawab saja, lagipula label tersebut konsekwensi dari tulisan kau, bukan ke pribadi dan menyangkut etika debat–seperti label yang kau tudingkan, “merasa paling tahu dan paling benar”.

  4. 5. Besok mahasiswa KONAMI akan ke istana. Dan apakah kita tidak ikut dengan alasan gosip bahwa mereka dibiayai elit? Mahasiswa KONAMI adalah mereka yang bentrok dan dianiaya tentara.

  5. 6. Sempertentangkan dua status berlawan–yang positif dan negatif–padahal ada unsur/status ketiga yang lebih negatif (pendukung kenaikan harga BBM). Apalagi masih ada aspek2 positif dari unsur yang kau katakan negatif (yang mendorong cara ekstra parlementer untuk memaksa partainya dan partai pendukung kenaikan harga BBM menyerah. Bayangkan keuntungan cara ekstra parlementer bagi unsur kesatu, kita. Dan itu, apalagi, sudah terwujud). Jadi tak cukup sekadar mempertentangkannya, tapi secara bersamaan mendorongnya sampai batas maksimal. Dan sekali lagi, unsur kedua akan diuji kesetiaannya, sekarang dan nanti, sambil merontokkan unsur ketiga. Itu menurutku realistis, kongkrit, dialektik, tahu batas, dan tahu diri.

  6. Tak mengerti perbedaan antara yang prinsipil (yang strategis perlu dipertentangkan) dengan yang antara/stage (yang taktis perlu dikompromikan); tak mengerti diaklektika.

    kebebasan propaganda bukan dalam arti sewenang-wenang menghujat ketidaksetiaan sekutu (yang belum terbukti secara empiris) dalam platform bersama, yang akan menghancurkan persatuan–Lenin bilang: kejahatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *