Tugas-Tugas Demokratik Kaum Buruh (Pengantar Diskusi)

Oleh Ganjar Krisdiyan*

Ketika menerima undangan dari TURC ini, melihat tema diskusinya: Transformasi Gerakan Buruh Menuju Gerakan Sosial dan Politik, mengingatkan saya kembali ketika memulai terlibat dalam gerakan, saya memulai semuanya sejak akhir tahun 1995 sebagai aktivis kampus, dan pada awal-awal tahun 1996 saya mulai melibatkan diri dalam rencana pemogokan umum/gabungan buruh di Tandes Surabaya bersama Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), pada waktu itu selain menuntut masalah-masalah normatif seperti cuti haid dan cuti hamil, pembayaran uang lembur, jamsostek dll PPBI juga menuntut Upah Minimum Nasional (UMN) sebesar Rp. 7000,-/hari (pada saat itu upah buruhnya hanya Rp. 3500,-/hari, Pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan Pencabutan 5 Paket UU Politik. Seketika, pada satu hari setelah dimulainya pemogokan, kehebohan terjadi, hampir semua koran memberitakan, dengan tema yang hampir mirip, yaitu BURUH MENUNTUT DEMOKRASI, APA HUBUNGANNYA? Pemberitaan-pemberitaan pun dibuat sangat berat sebelah, dan yang paling banyak dimuat adalah pernyataan-pernyataan dari penguasa militer, baik daerah (Pangdam) maupun nasional (terutama dari Kasospol ABRI), yang inti pendapatnya kira-kira “BURUH KOK MENUNTUT DEMOKRASI, PASTI ADA YANG MENUNGGANGI”.

Bukan main terbelakangnya pernyataan-pernyataan demikian, di Amerika Serikat sejak awal tahun 1800-an (awal abad 19), kaum perempuannya sudah meminta hak pilih, yang secara indah diucapkan dalam film Votes for Women oleh Aktrisnya –saat membagi-bagi selebaran untuk persiapan sebuah karnaval—, ketika ditanya oleh seorang buruh perempuan yang baru keluar pabrik, apa gunanya hak pilih bagi perempuan, apakah bisa memperbaiki kondisi saya sebagai buruh perempuan? Dijawab: bahwa hak pilih adalah JEMBATAN untuk memperbaiki kondisi anda. Bahkan dalam pengalaman perjuangan bangsa Indonesia sendiri, sejak tahun 1920-an (awal abad ke-20), gerakan buruhnya sudah berhasil mengidentifikasi bahwa sumber utama kemiskinan dan penderitaan kaum buruh dan rakyat Indonesia adalah diakibatkan oleh Kolonialisme.

Orde Baru memang telah menghapus ingatan kita tentang sejarah bangsa sendiri, perjuangan politik dan pemogokan digantikan dengan heroisme perjuangan bersenjata, yang itupun sebenarnya melibatkan seluruh rakyat diberbagai pertempuran, bahkan yang lebih celakanya, tentara yang kita kenal sekarang adalah tentara-tentara yang menjadi musuh rakyat waktu itu (kalau tidak bekas KNIL ya bekas PETA), yang memang tipis iman demokrasinya, sehingga wajar jika kemudian selalu mengangkangi kehidupan sipil, menuntut adanya Dwi Fungsi ABRI dan membuat rakyat buta politik (floatingmass/massa mengambang) lewat 5 Paket UU Politik. Demokrasi sipil mereka pahami sebagai pertengkaran, sipil tidak akan becus mengisi kemerdekaan. Idiologi “Pembangunanisme” yang dikumandangkan oleh Orba menjadi senjata ampuh untuk mengamankan kekuasaan, rakyat dibuat sibuk mengurusi ekonominya, kaum perempuannya sibuk mengurusi rumah tangganya, mahasiswanya di lokalisir didalam kampus, setiap tindakan untuk mempertanyakan hak kepada pemerintah adalah makar. Orba memang telah berhasil membuat ketakutan, sehingga kaum taninya, kaum buruhnya tidak berani melawan sekalipun tanahnya dirampas atau upahnya dibayar sangat murah.

Sejak berdirinya Orba pula, akselerasi terhadap masuknya modal asing ke Indonesia menjadi lebih tinggi, negara Orba memang berdiri diatas landasan sistem ekonomi kapitalistik. Seperti juga sistem kapitalistik pada umumnya, dia akan melahirkan kelompok masyarakat yang bekerja kepada pemilik modal, atau yang biasa kita sebut sebagai kaum buruh, yang hidupnya dihisap/ditindas oleh pemilik modal. Disamping klas buruh, dalam masyarakat kapitalis kita juga masih menemui kelompok-kelompok masyarakat yang lain, yang jumlahnya juga besar seperti kaum tani, pedagang kecil dan sebagainya, kelompok-kelompok masyarakat ini juga tertindas oleh modal, dalam berbagai macam bentuknya, misalnya kaum tani yang tertindas karena tanahnya diambil secara paksa untuk kepentingan pembangunan infrastruktur (jalan atau pelabuhan), dalam rangka menarik investasi, pedagang kecil yang selalu dikejar-kejar Tibum karena mengotori kota, dan lain sebagainya,  dan bahkan para mahasiswa pun mengalami hal yang sama, mereka tidak memiliki kebebasan dalam memilih fakultas atau jurusan, konsep pendidikan dalam sistem kapitalistik diarahkan hanya untuk memuhi kebutuhan pasar, untuk mencetak tenaga-tenaga yang siap pakai sebagai pelengkap jalannya roda kapitalisme (link and match).

Pendeknya, di masa Orba, semua sektor masyarakat ditindas oleh modal dan oleh kekuasaan yang represif, yang bekerja untuk terus mengamankan modal, memperkaya segelintir orang, sementara rakyat kebanyakan ditindas baik secara ekonomi maupun secara politik.

Tahun 1980-an adalah tahun dimana kebekuan politik rakyat mulai diganggu, mencair, sedikit demi sedikit, aksi massa dikenalkan sebagai metode perjuangan, solidaritas antar sektor –sehingga mahasiswanya dapat bergabung dengan rakyat, entah kaum tani atau buruh— mulai terjadi, dan tuntutan-tuntutan aksinya pun sudah mulai menohok kekuasaan, DEMOKRASI. ya, demokrasi adalah “JEMBATAN” untuk mencapai kesejahteraan, seperti kutipan dalam film diatas, atau saya juga senang dengan kutipan kata-kata berikut ini, yang saya lupa ada didalam artikel apa: “Kebebasan politik tidak akan serta merta membebaskan kaum buruh dari kemiskinan, tetapi ia akan memberikan suatu senjata kepada kaum buruh untuk melawan kemiskinan, tak ada cara lain dan tidak mungkin ada cara lain untuk melawan kemiskinan kecuali penyatuan kaum buruh itu sendiri, tetapi jutaan rakyat tak dapat bersatu jika tak ada kebebasan politik. Kutipan-kutipan diatas, menjadi sangat relevan, pada saat itu.

Tentu saja kesadaran tersebut (tuntutan demokrasi, penyatuan/solidaritas antara sektor) ada landasan objektifnya, sehingga dia diterima menjadi kebenaran, dan diterima menjadi landasan bagi penyatuan antar sektor masyarakat, selain disebabkan karena mulai masuknya teori-teori progressif di sekitar tahun-tahun tersebut, termasuk juga karya-karya Pramudya Ananta Toer, yang menjadi bacaan wajib bagi aktifis, dan yang terpenting adalah, karena semua sektor masyarakat mengalami penindasan yang sama, dan sama-sama ingin keluar dari penindasan tersebut. Mereka juga mengahadapi musuh yang sama pula, yaitu Orba. Penyatuan-penyatuan pun dibuat, diatas platform bersama, dan sebagai perekatnya yaitu DEMOKRASI. Mahasiwa yang sadar mulai keluar kampus, bergabung dengan sektor-sektor masyarakat yang lain untuk melipat gandakan kekuatan/membentuk persatuan, dan tidak mau dipecah-pecah lagi. Itulah mengapa pada saat itu, PPBI, sebagai organisasi buruh, juga memiliki kepentingan yang sama soal demokrasi.

Dan kini, setelah sekian tahun reformasi, persoalan tersebut kembali mencuat, memang dalam politik, kita tidak mengenal kata usang, entah metode tersebut sudah mulai digunakan sejak awal abad 19, atau digunakan sejak 85 atau 15 tahun yang lalu, atau bahkan baru 1 tahun yang lalu, tidak ada bedanya, sebuah metode politik yang baik, ketika belum diyakini oleh mayoritas rakyat tetap saja relevan digunakan kapanpun, sampai rakyat secara mayoritas menggunakannya. Dalam makna itulah saya fikir, diskusi ini dimaksudkan. Kita mau menyelidiki apakah dengan tuntutan Jaminan Sosial yang disuarakan oleh kaum buruh, itu berarti terjadi transformasi gerakan buruh menjadi gerakan sosial – politik dan yang terpenting, apakah dengan transformasi tersebut menguntungkan atau tidak bagi rakyat.

Untuk menyelidiki apakah gerakan buruh sekarang, yang menuntut Jaminan Sosial sudah bertransformasi menjadi gerakan sosial-politik, menurutku yang pertama-tama harus dilihat dan dikaitkan adalah tentang bentuk organisasinya, dengan mengaitkan perjuangan kaum buruh dengan bentuk organisasi perjuangannya maka kita dapat membaginya menjadi perjuangan ekonomi, perjuangan politik dan perjuangan idiologis. Perjuangan ekonomi adalah bentuk paling awal dari perjuangan buruh, biasanya dimulai dengan perjuangan mempertahankan kepentingan ekonomi sehari-hari, seperti kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja, dan sebagainya. Dalam perjuangan semacam ini lah organisasi-organisasi pertama buruh tumbuh, yaitu serikat-serikat buruh. Perjuangan ekonomi tidak akan mengusik pemilikan kaum kapitalis terhadap alat-alat produksi dan tidak melenyapkan kekuasaan politik mereka, perjuangan ekonomi hanya bisa mendapatkan konsesi-konsesi kecil dari klas pemilik modal. Dengan demikian, jika kita terlalu memuja-muja perjuangan ekonomi dan membatasi perjuangan klas buruh hanya untuk mendapatkan reformasi dalam batas-batas sistem kapitalis, maka hal itu akan merugikan kepentingan klas buruh.

Perjuangan politik adalah bentuk perjuangan klas buruh yang paling tinggi dalam melawan kekuasaan klas pemilik modal, tujuan akhir dari perjuangan ini adalah perebutan kekuasaan oleh klas buruh, yang akan membuka jalan bagi pembebasan sosial melalui penghapusan sistem penghisapan kapitalis. Perjuangan politik akan menuntut buruh untuk membentuk partai politiknya sendiri, yang menghimpun kekuatan-kekuatan yang memiliki pemahaman terhadap kepentingan-kepentingan klas dan program yang jelas untuk menjalankannya.

Sedangkan perjuangan idiologis adalah perjuangan teoritik untuk membebaskan klas pekerja dari kesadaran borjuis. Perjuangan idiologis ini hanya bisa dicapai jika kaum buruh sudah memiliki partai politiknya sendiri.

Seperti juga yang disampaikan Marx:

Gerakan politik kelas pekerja, tentu saja, tujuan akhirnya adalah merebut kekuasaan politik bagi dirinya, dan untuk itu sudah seharusnya membutuhkan organisasi kelas pekerja yang berkembang (maju) hingga mencapai tahap tertentu atau, tepatnya, tidak lagi merupakan perjuangan ekonomi.

Namun demikian, di sisi lain, setiap gerakan kelas pekerja yang dilancarkan untuk melawan kelas penguasa, dan mencoba untuk menekan mereka dengan paksaan dari luar, adalah perjuangan politik. Misalnya, upaya (di pabrik tertentu atau bahkan dalam perdagangan tertentu) untuk memaksakan hari kerja yang lebih pendek terhadap individu kapitalis dengan cara mogok, dan sebagainya, sepenuhnya merupakan gerakan ekonomi. Di sisi lain, gerakan untuk memaksakan hukum 8 jam kerja, dan sebagainya, adalah gerakan politik.

Bila kelas pekerja belum begitu maju (dalam organisasinya) untuk melancarkan serangan menentukan melawan kekuasaan kolektif –yakni kekuasaan politik kelas penguasa— maka kelas pekerja sebelumnya harus lah dilatih dengan cara mengagitasikan (terus menerus) perlawanan terhadap kekuasaan tersebut dan dengan cara menunjukkan permusuhan mereka terhadap kebijakan-kebijakan kelas penguasa. Bila tidak, kelas pekerja hanya akan menjadi barang mainan di tangan kelas penguasa”.

Lalu untuk menjawab pertanyaan apakah transformasi tersebut menguntungkan bagi rakyat atau tidak? Jika kita mencermati kembali paragraf-paragraf awal tulisan ini, tentu kita akan bersepakat bahwa transformasi tersebut sangat dibutuhkan, namun transformasi tersebut harus berbasis pada ketepatan menentukan isu, metode dan arah perjuangan yang diinginkan rakyat.

Saat ini, rezim Sby-Boediono hanyalah kepanjangan tangan Imperialisme, maka sudah dapat kita pastikan bahwa, mereka tidak akan berpihak kepada rakyat, dengan mudah kita bisa memberikan contoh-contohnya, seperti: menarik subsidi BBM, Listrik dll, memprivatisasi BUMN, mengobral kekayaan alam negara, meliberalisasi perdagangan (termasuk hasil-hasil pertanian, seperti beras, kedelai, cabai dll)), menggusur tanah rakyat dan menembaki petani, mempertahankan politik upah murah dan outsorcing, menggusur PKL dan lain sebagainya. Akhirnya menurut saya, dengan situasi demikian, kaum buruh harus lebih banyak terlibat dalam konsolidasi-konsolidasi gerakan, bersama sektor-sektor lain yang sama-sama dirugikan oleh kepentingan Imperialisme beserta agen-agennya.

SEKIAN

*Anggota Partai Pembebasan Rakyat

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *