Pemilihan Umum Iran: Dagelan-Kebohongan ‘Kecurangan Pemilu”

James Petras

Dalam pemilu di berbagai negeri, jika Gedung Putih punya kepentingan besar di dalamnya, kemudian ternyata kandidat pro-AS kalah, maka elit politik AS dan media massanya akan segera mengumumkan bahwa pemilu itu ‘tidak sah’. Contohnya, saat pemilu di Venezuela dan Palestina, yang diawasi oleh pengawas internasional, ternyata dimenangkan Chavez dan Hamas (yang anti AS); maka AS segera meneriakkan adanya kecurangan. Di Lebanon, AS memakai cara lain: Hizbullah dalam pemilu itu sebenarnya meraih 53% suara; namun media AS segera meneriakkan “pemilu Lebanon sukses” (penyebabnya karena Barat memasukkan 3 nama dari kubu independen, ke dalam kubu 14 Maret yang pro Barat—Dina).

Pemilu yang baru terjadi di Iran, mengulangi cerita klasik itu: Ahmadinejad meraih 63%, sementara kandidat pro Barat Mousavi meraih 34%. Musavi menolak kekalahannya. Lalu, segera, hampir semua spektrum pembuat opini Barat, termasuk media cetak dan elektronik terkemuka dari kalangan liberal, radikal, maupun konservatif, menggemakan klaim kelompok oposisi: terjadi kecurangan. Baik Partai Demokrat maupun Republik AS mengecam rezim Ahmadinejad, menolak mengakui hasil pemilunya, dan mendukung upaya para demonstran untuk membatalkan hasil pemilu.

Kebohongan Kecurangan Pemilu

Para pemimpin Barat menolak hasil pemilu Iran karena mereka sebelumnya yakin bahwa kandidat mereka tidak akan kalah.

Selama berbulan-bulan sebelum pemilu, setiap hari mereka mempublikasikan wawancara, editorial, dan laporan yang berbicara tentang ‘kegagalan pemerintahan Ahmadinejad’; mereka mengutip dukungan dari ulama, mantan pejabat, pedagang di pasar, perempuan dan pemuda perkotaan yang lancar bicara dalam bahasa Inggris, untuk membuktikan bahwa Mousavi sedang menyongsong sebuah kemenangan mutlak.

Kemudian, proses pemilu Iran berjalan dengan sedemikian bebas dan terbuka, dipanaskan pula oleh debat publik dan keterlibatan publik yang sangat besar dalam pemilu, membuat pemimpin Barat dan media Barat bertambah yakin bahwa kandidat favorit mereka akan menang.

Ketika ternyata Mousavi kalah, mereka segera menuduh ada kecurangan. Dan yang mengejutkan adalah bahwa mereka tidak memberikan bukti apapun, baik tertulis maupun observasi terkait tuduhan curang itu. Padahal, selama masa kampanye, tidak ada tuduhan terkait penyuapan (untuk pembelian suara), baik itu tuduhan yang dapat dipertanggungjawabkan maupun isu belaka (artinya, bahkan sekedar isu suap pun tak terdengar di Iran—Dina).

Media Barat berpegang pada reporternya yang meliput langsung demonstrasi kaum oposan di Iran, namun mereka mengabaikan demosntrasi balasan yang lebih besar lagi, yang dilakukan oleh pendukung Ahmadinejad. Lebih buruk lagi, media Barat mengabaikan komposisi sosial para pelaku demonstrasi. Mereka mengabaikan fakta bahwa Ahmadinejad meraih dukungan dari kaum pekerja miskin, petani, tukang, dan pekerja publik, yang jumlahnya jauh lebih banyak dari kaum oposan yang datang dari kalangan mahasiswa kelas (ekonomi) menengah ke atas, kaum pengusaha, dan kaum professional.

Lebih jauh lagi, media dan pengamat Barat hanya terpusat di Tehran dalam melaporkan dan menganalisis situasi Iran, tidak mengunjungi provinsi-provinsi, kota-kota kecil, dan desa-desa, dimana Ahmadinejad meraih dukungan besar. Lebih jauh lagi, pendukung oposisi adalah mahasiswa aktivis yang sangat mudah dimobilisasi untuk demo di jalanan, sementara pendukung Ahmadinejad datang dari pemuda pekerja dan perempuan yang bekerja di rumah, yang mengekspresikan dukungan melalui kotak suara, dan hanya punya sedikit waktu dan kemauan untuk terlibat dalam politik jalanan.

Sejumlah kolumnis koran, misalnya Gideon Rachman, yang menulis di Financial Times, mengklaim bahwa bukti kecurangan pemilu adalah bahwa Ahmadinejad menang 63% di kawasan Azeri, yang merupakan kampung halaman Mousavi. Bila kita melihat pola pemilihan di kawasan Azeri, menunjukkan bahwa Mousavi menang hanya di kota Shabestar, di kalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas (dan itupun menang tipis). Mousavi kalah di kawasan-kawasan pinggiran, dimana kebijakan Ahmadinejad selama ini telah membantu etnik Azeri melunasi hutang-hutang para petani dan mereka bisa mendapatkan kredit lunak.

Mousavi menang di kawasan Azerbaijan Barat, dimana dia berhasil menggunakan sentimen etnis di masyarakat perkotaan. Di Provinsi Tehran yang sangat padat, Mousavi menang di pusat kota Tehran and Shemiranat di mana banyak warga kelas menengah ke atas, dan kalah di kawasan pinggiran Tehran yang banyak pekerja (ekonomi lemah).

Melihat peta perolehan suara antara Ahmadinejad dan Mousavi di atas, terlihat bahwa masalah etnis tidak banyak berpengaruh dan tidak bisa dijadikan bukti kecurangan. Peta perolehan suara itu cocok dengan hasil survei yang dilakukan AS sendiri, hanya 3 pekan sebelum pemilu, yang menyebutkan bahwa Ahmadinejad menang 2:1 terhadap rivalnya.

Media Barat juga menggambarkan bahwa Mousavi seharusnya menang karena didukung oleh para pemuda yang menginginkan kebebasan. Padahal survei yang sama menunjukkan bahwa satu-satunya kelompok pemuda yang secara konsisten mendukung Mousavi adalah mahasiswa yang datang dari kalangan menengah ke atas, lancar berbahasa Inggris, dan sangat besar aksesnya kepada media Barat. Sementara, survei itu menemukan, 2/3 pemuda Iran tidak memiliki akses komputer dan internet.

Secara umum, Ahmadinejad telah melakukan kebijakan yang sangat baik di provinsi-provinsi penghasil minyak dan kimia. Hal itu memberikan jawaban atas adanya oposisi dari para pekerja minyak terhadap program yang diajukan kaum reformis: di antaranya adalah privatisasi (dan karena itu mereka memberikan suara kepada Ahmadinejad). Ahmadinejad juga melakukan kebijakan yang tepat terkait masalah perbatasan dan terlihat sangat menekankan kebijakan penguatan keamanan negara. Rakyat Iran menjadi korban teroris di perbatasan Pakistan dan Irak, dan mereka tahu siapa yang memberi dana bagi kelompok-kelompok teroris itu. Karenanya, mereka memberi suara kepada Ahmadinejad karena merasa akan lebih aman, dibanding bila mereka dipimpin oleh reformis.

Peta perolehan suara menunjukkan adanya polarisasi kelas dalam masyarakat Iran: di satu sisi kelas ekonomi tinggi, berorientasi pasar bebas, individualis kapitalis; di sisi lain ada kelas pekerja, berpendapatan rendah, dan komunitas yang memegang teguh ekonomi moral (menolak riba dan dibatasinya pengambilan laba—artinya, kaum pedagang tak boleh seenaknya menaikkan harga-harga). Serangan kaum oposisi atas kebijakan Ahmadinejad, yang banyak memberikan anggaran untuk kesejahteraan, kredit lunak, dan subsidi makanan, justru bertentangan dengan sebagian besar rakyat yang menikmati semua kemudahan itu. Mereka melihat negara sebagai pelindung kaum miskin melawan ‘pasar’ yang dipresentasikan oleh kemewahan, kekuasaan, dan korupsi. Serangan kaum oposisi bahwa “gara-gara Ahmadinejad telah membuat Iran diasingkan oleh Barat” hanya bisa diterima oleh kaum muda mahasiswa yang liberal dan para pengusaha ekspor-impor. Sementara bagi rakyat biasa, mereka justru merasa terlindungi oleh sikap keras Ahmadinejad, mengingat tetangga-tetangga mereka sudah menjadi korban AS (Pakistan, Irak, Afgan).

Kemenangan Ahmadinejad sebenarnya bukan hal aneh. Dalam pemilu lain yang mempertentangkan antara kebijakan populis dan kebijakan pro-Barat, memang umumnya kaum populislah yang menang dengan mayoritas mutlak. Misalnya, menangnya Peron di Argentina, Chavez di Venezuela, Morales di Bolivia dan Lula da Silva di Brazil. Mereka semua menang di atas 60%.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *