Demagogi Anti-Neoliberal Gagal Menarik Minat dalam Pemilihan Umum Indonesia

Max Lane

Dalam pemilihan presiden/wakil presiden 8 Juli, pertemuan-pertemuan dan panggung-panggung yang menunjukkan dukungan pada ketiga kandidat masih tak begitu kuat. Dua kandidat yang bertarung merupakan kepala pemerintahan saat ini—presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) dan wakil presidennya, Jusuf Kalla. Keduanya sebenarnya bertanggungjawab terhadap kelanjutan kebijakan-kebijakan “pasar bebas” neoliberal yang dilakukan oleh Megawati Sukarnoputri, kandidat presiden yang ketiga.

Kalla, Ketua GOLKAR saat ini, partai diktator Soeharto, adalah menteri dalam pemerintahan Megawati (2001-2004). Calon wakli presiden pasangan SBY, Budiono, ekonom lulusan Australia, adalah menteri keuangan pada masa pemerintahan Megawati, sebelum kemudian dijadikan menteri ekonomi oleh SBY. SBY juga adalah menteri dalam pemerintahan Megawati. Tak mengherankan, sedikit sekali perbedaan kebijakan di antara para kandidat presiden tersebut. Itu sangat jelas terlihat dalam “debat” televisi pertama di antara mereka. Jakarta Post, 19 Juni, melaporkan: “ketiga kandidat presiden memberikan beberapa penjelasan dalam debat televisi tadi malam, tapi para penonton sia-sia saja menunggu adanya saling-serang atau perdebatan, sebagaimana layaknya dalam kebiasaan kampanye. Alih-alih seperti itu, ketiga kandidat malah saling memberikan persetujuan dan, saat tiba pada area di mana seharusnya mereka berbeda, mereka malahan mengungkapkan hal-hal yang sebenarnya semua orang sudah tahu, sebenarnya tak perlu diulang-ulang lagi.

Stephen Fitzpatrick, koresponden The Australian di Jakarta, lebih lugas lagi. Dalam koran tersebut, edisi ke-20, ia melaporkan “Debat 3 kontestan calon presiden—Susilo Bambang Yudhoyono, Yusuf Kalla dan Megawati Sukarnoputri—yang diliput TV secara nasional, untuk memperebutkan jabatan yang paling tinggi di Indonesia itu, kehilangan satu unsur kunci: debat … saat ditanya oleh moderator Anies Baswedan, ilmuwan politik terkemuka dan rektor Universitas Paramadina, untuk menjelaskan semboyan-semboyan kampanye mereka, ketiganya malah terus menerus saling memuji.”

Calon pasangan Kalla, purnawirawan jenderal Wiranto, masih dalam status dakwaan dan diwajibkan menghadap Komisi Pidana Serius PBB (UN Serious Crimes Commission) untuk diselidiki dalam hal pelanggaran HAM di Timor Timur saat masih dalam pendudukan rejim Suharto. Calon pasangan Megawati adalah purnawirawan jenderal Prabowo Sibianto, paling bertanggung jawab dalam mengorganisir penculikan dan penyiksaan aktivis demokrasi pada tahun 1997-1998, termasuk anggota-anggota partai kiri Partai Rakyat Demokratik (PRD).

Demagogi populis

Keduanya, Kalla dan Megawati, terlibat dalam gembar-gembor demagogi nasionalis-populis. Demagogi yang paling agresif datangnya dari Megawati dan Prabowo. Mereka sangat intens dalam kampanyenya dan berkoar-koar bahwa kampanyenya ditujukan untuk mendukung “ekonomi kerakyatan” dan menentang “neoliberalisme”. Mereka menyebarluaskan kampanye iklan yang massif di sekitar tema-tema tersebut, termasuk menyerang Budiono sebagai antek kebijakan-kebijakan IMF. Pada awal krisis finansial Asia tahun 1998, IMF menuntut syarat agar pembelanjaan publik Indonesia dipotong, swastanisasi badan-badan usaha milik Negara (BUMN), menangguhkan proyek-proyek infrastruktur, dan meningkatkan pajak. Semua syarat tersebut diminta sebagai imbalan bagi paket dana talangan yang IMF berikan sebanyak US$ 43 milyar.

Sebagian besar aktivis kiri menuding kemunafikan demagogi tersebut. Megi Margiyono, aktifis media alternatif, menuding bahwa selama masa kepresidenan Megawati, ia telah menjual tujuh perusahaan Negara yang sangat penting, antara lain di bidang telekomunikasi, farmasi, pertambangan, bandara, produksi semen dan perumahan. Pemerintahan Megawati, yang juga terwakili partainya (PDIP) di parlemen dengan mudahnya, didukung GOLKAR, meloloskan UU privatisasi perusahaan-perusahaan Negara, UU pertanian/perkebunan, UU MIGAS, UU kelistrikan dan UU Tenaga Kerja, yang menderegulasikan semua sektor tersebut, sehingga membuka diri atau memungkinkannya diambil alih oleh bisnis swasta, baik domestik maupun asing.

Fakta-fakta tersebut, bersamaan dengan publisitas kekayaan (yang luar biasa besarnya dari) keluarga prabowo, termasuk koleksi kuda-kuda polonya senilai 3 milyar rupiah, justru melemahkan demagogi Megawati-Prabowo. Sejauh ini, kebanyakan jajak pendapat tak menunjukkan peningkatan (dramatik) popularitas mereka. Dalam pemilihan legislatif bulan April, partai Pranbowo, yang jelas melakukan kampanye demagogi yang sama, memperoleh 4% suara syah, sementara partai Megawat hanya mendapatkan suara di bawah 15%.

Hampir semua kaum kiri yang terorganisir di Indonesia menyerukan GOLPUT terhadap pemilihan presiden, dengan landasan bahwa tidak ada calon “yang terbaik dari yang terjahat”. Pencoblosan/pencontrengan, di Indonesia, seperti juga di Australia, bukan lah kewajiban. Beberapa kaum kiri mewanti-wanti bahaya laten adanya serangan dengan meningkatnya dukungan terhadap Prabowo, yang sudah bukan ragasia lagi akan menerapkan model politik yang dia senangi di Indonesia, yakni sebagaimana yang dicerminkan oleh pemerintahan “kuat” seperti Suharto dan perdana menteri (yang sangat lama menjabat) Lee Kuan Yew. Kebanyakan kelompok kiri mengkonsentrasikan upayanya dalam menyatukan kekuatan mereka untuk mengkampanyekan cara ekstraparlementer pada masa setelah pemilu.

Namun demikian, pada tahun 2007, salah satu sayap Partai Rakyat Demokratik (PRD), partai kiri yang memainkan peran penting dalam memprakarsai aksi-aksi prottes umum menentang kediktatoran Suharto pada tahun 1990-an, memutuskan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif 2009 di bawah bendera Partai Bintang Reformasi (PBR), partai yang, sejak 2004, mendukung pemerintahan Yudhoyono-Kalla. Dimpimpin oleh Dita Sari, mereka berdalih bahwa bahwa itulah cara agar mereka bisa berbicara pada massa secara luas demi menyebarluaskan program radikalnya. Nyatanya, kampenye mereka malah melunakkan substansi politik mereka. Di mana-mana, suara PBR merosot, sehingga secara nasional jatuh dari 2,4% menjadi 1%, padahal PRD-nya Dita sudah mengerahkan ratusan aktivisnya untuk membantu PBR.

Selama kampanye pemilu legislatif, ketua PBR Bursah Zarnubi mengekspresikan dukungannya kepada partainya prabowo, GERINDRA, dan juga bermanuver kepada GOLKAR, mengundang pimpinan GOLKAR untuk berbicara dalam acara-acara yang diorganisir PBR. Dia juga mengekspresikan dukungannya kepada Rizal Ramli, seorang ekonom yang beralih menjadi politisi, yang juga berupaya menyebarluaskan  demagogi kebijakan-kebijakan nasionalis, yang menganjurkan rejim otokratik Lee Kuan Yew sebagai model bagi yang perlu ditiru Indonesia. Saat pemilu legislatif, PBR  kembali mendukung Yudhoyono.

Dita Sari mendukung Kalla-Wiranto

Dita Sari mendirikan kelompok Baru, Relawan Berani Bangkit Mandiri (RBBM), untuk mendukung pencalonan Kalla dan Wiranto. Pada konferensi pers pada tanggal 6 Juni, yang dihadiri Kalla, Dita menyatakan: “pasangan calon presiden dan wakil presiden Jusuf Kalla dan Wiranto adalah pasangan yang paling nyambung dengan para buruh.” Kompas mengutip apa yang Dita katakan, bahwa “Konsep ekonomi kemandirian yang ditawarkan pasangan JK-Win, menurut Dita, memenuhi poin-poin yang selama ini didambakan para buruh, antara lain terkait program JK-Win untuk melindungi industri dalam negeri dan memperkenalkan sistem outsourcing dan kontrakkerja yang justru berpihak kepada buruh.” Padahal, kaum kiri lainnya—dan PRD di masa lalunya—masih bergiat berkampanye menghentikan outsourcing dan sistim buruh kontrak yang, justru, diberlakukan oleh pemerintahan Yudhoyono-Kalla.

Kompas juga mengutip apa yang Dita katakan, “Yang penting sistem. Meski dia dari penguasaha, tapi dia punya sistem yang baik. Bagaimana dia menjaga sistem itu untuk

mengatur dia sebagai pejabat dan pengusaha. Kalau konflik kepentingan kan bisa datang dari

profesi apa saja.” Mengenai keterlibatan Wiranto dalam pelanggaran HAM di masa lalu, Dita mengatakan, “Setiap orang punya kesalahan di masa lalunya.”

Menurut pernyataan 9 Juni yang dipublikasikan oleh Data Brainata, salah seorang perwakilan intenasional Papernas, partai yang didirikan PRD pada tahun 2006 dan gagal dalam memenuhi persyaratan pendaftaran pemilu, mengatakan bahwa Dita sudah mengundurkan diri dari PRD dan Papernas sebelum dia bergabung dengan team kampanye Kalla-Wiranto. Menurut Brainata: “Dukungan Dita kepada salah satu calon presiden (kalla-Wiranto) sepenuhnya keputusan pribadi dia dan tak ada kaitannya dengan kebijakan PRD/Papernas.”

Namun demikian, tak ada satu kata pun dalam pernyataan yang dikeluarkan Brainata tersebut yang mengutuk atau mengritik dukungan Sari kepada Kalla-Wiranto. Nyatanya, setelah mengeluarkan pernyataan bahwa, “sekarang, PRD/Papernas tak mendukung calon presiden manapun,” pernyataan lainnya dari Brainata justru kontradiktif saat ia menjelaskan bahwa PRD/Papernas berupaya mengintervensi kampanye pencalonan presiden yang mengusung agenda anti-neoliberal yang, katanya, secara “langsung khususnya diarahakan pada (dan untuk menentang) inkuben, Susilo Bambang Yudhoyono, yang telah menunjuk anggota IMF, Budiono, sebagai calon wakil presidennya. Posisi itu jelas akan akan menguntungkan saingannya, Kalla-Wiranto (proteksionis) dan Megawati-Prabowo (populis), dan PRD/Papernas akan memberikan dukungan kritis kepada mereka dengan basis program-program ant-neoliberal.” Jadi, PRD/Papernas akan mendukung kampanye Dita bagi Kalla, dengan mengizinkan dia memobilisasi buruh yang berada di bawah pengaruh Papernas sementara, di sisi lainnya, juga meneguhkan dukungan bagi kampanye Megawati-Prabowo.

Dengan mendeklarasikan Kalla-Wiranto sebagai “proteksionis” dan Megawati-Prabowo sebagai “populis”, PRD/Papernas telah bergabung dengan paduan suara demagogi yang disodorkan oleh politisi kapitalis, yang hendak mengaburkan kebijakan mereka sebenarnya: pro-neoliberal, sebagaimana telah dibuktikan oleh apa yang telah mereka lakukan saat mereka memerintah. Perlu dicatat juga bahwa Budiono bukanlah “anggota” IMF. IMF tidak punya keanggotaan individual. Negara Indonesia adalah anggota IMF dan, dalam pertemuan tahunan IMF di Washington, diwakili oleh Budiono atas nama pemerintah Megawati dan Yudhoyono-Kalla.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *