Arti PEMILU yang baru lewat

Tahun 1998 gerakan mahasiswa-massa berhasil menciptakan situasi yang sanggup memaksa diktator Suharto jatuh. Ketakutan akan dinamika radikalisasi mahasiswa-massa tersebut mengakibatkan sebagian besar elit politik dan bisis Indonesia meninggalkan diktator demi menyelamatkan kapitalisme di Indonesia. Sesuka apapun pada pemerintahan kediktatoran (ketimbang demokrasi parlementer), mereka terpaksa lebih baik memenuhi desakan gerakan, daripada nantinya radikalisme tidak hanya mempersoalkan bentuk pemerintahan—kediktatoran dipertentangkan dengan demokrasi parlementer burjuis—tetapi juga mempersoalkan sistem ekonomi-politik: kapitalisme dipertentangkan dengan sosialisme.

Soeharto ditinggal banyak teman-temannya sendiri, diktator terpaksa mundur.

Dalam proses tersebut, kemenangan utama dari gerakan adalah perubahan bentuk pemerintahan tersebut: dari kediktatoran menjadi demokrasi parlementer, demokrasi liberal. Tentara semakin berkurang perannya sebagai alat represif, kehilangan kursinya di parlemen, dan semakin jarang bersuara dalam ajang-ajang propaganda politik. Tapi itu tidak berarti bahwa watak lembaga tentara juga berubah. Dilihat dari kasus-kasus represi-kekerasaan di Papua dan di pelosok-pelosok pedesaan, misalnya, sudah jelas tidak ada perubahan watak. Juga sebagai sebuah pusat monopoli alat represif, kemampuannya untuk berperan kembali tetap terpelihara. Kekuatan politiknya tercermin dalam kenyataan bahwa tak ada seorang pun pelanggar HAM zaman Orde Baru diadili dan dihukum, bahkan mantan militer zaman kediktatoran masih dipandang syah berpolitik dalam partai-partai yang hendak berkekuasa.

Dalam proses pemilihan umum, represi langsung terhadap pertarungan politik riil juga sangat berkurang. Tidak ada kelompok yang berusaha ikut pemilu dalam periode 1999-2009 dilarang karena alasan politik-ideologi. Partai-partai yang berusaha ikut pemilu, tetapi gagal, kegagalannya bukan karena larangan tetapi karena kurang banyak anggautanya atau kurang banyak uang untuk membeli anggauta dan syarat-syarat lainnya. (Tentu saja karena belum ada satu partai Marxis-Leninis yang menjadi peserta pemilu, sehingga belum ada kasus larangan terhadap partai peserta pemilu berdasarkan TAP MPRS No. XXV, 1966.) Dalam pemilihan langsung Bupati, Gubernur dan Presiden juga sama: belum ada calon yang dilarang.

Meskipun masih terjadi tindakan-tindakan kekerasan terhadap jurnalis—beberapa jurnalis dan pers bahkan diseret ke pengadilan¾namun secara umum kebebasan pers telah berhasil direbut oleh gerakan mahasiswa-massa tahun 90-an tersebut, lebih maju dibandingkan dengan sebelum tahun 1998. Pers dan website, bahkan penerbit pun, bisa menerbitkan buku beraliran ideologis kiri.

Kemajuan-kemajuan yang dicapai (baca: direbut) gerakan mahasiswa-massa tahun 90-an itu¾dan, sampai sekarang, masih riil dalam politik dan masyarakat Indonesia¾cukup banyak. Kemenangan-kemenangan tersebut harus dihargai dan dibela mati-matian. Adanya PEMILU dan PILPRES 2009 juga merupakan suatu kemenangan.

Bila terselenggaranya PEMILU dan PILPRES memang merupakan suatu kemenangan, mengapa semua golongan kiri dan progresif di Indonesia bersikap GOLPUT, alias tidak mau ikut PEMILU.

Sebenarnya, GOLPUT dalam bentuk tak pergi ke TPS, atau tak mendaftar sebagai sebagai peserta/pencoblos PEMILU, adalah sikap yang mencerminkan lemahnya gerakan progresif di Indonesia. Sikap GOLPUT dalam bentuk seperti itu memang merupakan sikap progresif yang maksimal¾karena kekuatan gerakan progresif masih sangat kecil ¾ namun, sebenarnya, bukan sikap progresif yang optimal.

Tentu saja, yang seoptimal-optimalnya adalah saat situasi kekuatan progressif sedemikian kuatnya sehingga bisa mendobrak segala kemungkin halangan bila gerakan progresif hendak menjadi peserta pemilu (agar bisa berkampanye lantang-terbuka membela program-program politiknya).

Tetapi, dalam situasi PEMILU dan PILPRES (2009), yakni saat tak ada satu partai yang progresif—bahkan partai semi-progressif pun tak ada—yang sanggup menjadi peserta PEMILU, bentuk kampanye GOLPUT yang ada pun tidaklah memadai. Itu terutama karena kurangnya (atau bahkan tidak adanya) pengertian untuk membela-memperkuat kemenangan gerakan tahun 90-an: bisa diselenggarakannya PEMILU yang lebih baik ketimbang pada masa kediktaktoran.

Terus, bagaimana seharusnya? Apakah gerakan progresif seharusnya hanya memberi dukungan kritis pada salah satu partai atau salah satu capres/cawapres saja? Kami pikir, tidak juga. Sudah jelas bahwa partai-partai yang bermain adalah, pada essensinya, sama, dan sampai sekarang pun pertarungan yang terjadi di antara mereka lebih banyak sandiwara dan manuver. Semua partai tersebut, sebenarnya, bisa saja bekerjasama satu dengan yang lainnya, hanya rivalitas pribadi dan perebutan jabatan saja yang jadi halangannya. Sekarang, bulan Agustus, partai-partai yang memajukan diri sebagai opposisi, seperti PDI-P dan GERINDRA, sudah melakukan pendekatan pada Presiden Yudhoyono dengan harapan bisa bergabung (dan mendapat jabatan). Tapi, tentu saja, bila memang pada suatu saat terjadi pembelahan yang bermakna di kalangan elit, maka golongan progresif bisa bersikap lain.

Terus, kalau bukan GOLPUT atau bukan dukungan kritis, seharusnya bagaimana? Sebenarnya GOLPUT—secara umum—sudah tepat. Yang kami persoalkan adalah kelemahan besar yang ada pada bentuknya yang, sekaligus, mencerminkan kelemahan kekuatan gerakan progressif. Lalu, bentuk apa yang seharusnya saat itu dilakukan—kalau memang kemampuannya ada.

Untuk menjawab persoalan tersebut sebaiknya kita menjawab dulu alasan utama untuk bersikap tidak ikut memilih pada waktu PEMILU. Jawabannya: karena tidak ada yang pantas dipilih; tidak ada yang pantas diberi mandat rakyat. Pesan utama yang mau disampaikan lewat GOLPUT adalah: kita menolak semua partai tersebut! Bentuk GOLPUT yang dijalankan—dengan cara tidak datang memilih—sebenarnya menyampaikan dua kesan pada masyarakat dan massa. Satu, memang, tak ada partai yang diminati; tetapi, kesan lainnya, yang juga sangat kental terasa, ialah: PEMILU itu sendiri bukan sesuatu yang harus dibela.

Salah satu bentuk paling optimal dalam menjalankan politik GOLPUT adalah berkampanye: semua orang harus mendaftar ikut PEMILU dan PILPRES, semua orang harus datang ke TPS dan mengisi surat suara, tetapi karena tak ada partai yang pro-rakyat, dicoreti saja surat suara tersebut sehingga jumlah suara yang tak syah membeludak. Dengan cara tersebut ada pendidikan politik bahwa pemilihan umum harus dipertahankan dan dibela oleh rakyat, sekaligus bisa sampaikan pesan baha semua partai yang ada memang harus ditolak.

Mengapa kampanye GOLPUT tidak berkembang seperti itu? Mungkin karena kurangnya penghargaan terhadap kemenangan gerakan masa pra-98: begitu sering kita dengar suara sinis yang melecehkan kemenangan reformasi.  Sebab lain ialah karena memang belum cukupnya kekuatan-kekuatan dan titik-titik progressif yang sudah bersatu sehingga kader, alat pers and struktur pengorganisarannya memadai untuk mengangkat kampanye GOLPUT dari tingkat minimal-passif ke tingkat optimal-aktif.

Sebenarnya berbahaya juga kalau massa mulai meragukan kegunaan adanya pemilihan umum. Saat ini jangan sampai dijadikan kesempatan bagi kekuatan anti-demokrasi untuk mengkampanyekan agar kembali ke sistem kediktatoran dengan alasan bahwa pelanggaran HAM di bidang sosio-ekonomi lebih penting diperhatikan ketimbang pelanggaran HAM di bidang hak demokrasi dan kebebasan dari represi.

Lalu, apakah itu artinya bahwa pemilu dan parlemen lebih penting daripada gerakan massa dan gerakan ekstra-parementer? Sama sekali tidak. Untuk kaum progessif, gerakan aksi massa adalah kunci kemenangan dan basis bagi semua demokrasi riil. Hanya keterlibatan jutaan massa, melalui berbagai macam bentuk organisasinya sendiri, yang bisa menjamin demokrasi. Adalah tanggung-jawab kekuatan-kekuatan dan titik-titik progressif untuk bersatu dan membangun gerakan aksi massa yang bisa menjadi basis bagi demokrasi kerakyatan. Tetapi, seperti juga kita lihat contohnya di Venezuela, selalu sangat berguna bagi demokrasi bila dukungan masyarakat terhadap gerakan aksi massa tersebut diukur dan disahkan melalui pemilihan umum yang bebas dan terbuka.

Selama gerakan aksi massa lemah dan kampanye-kampanyenye di medan pemilihan umum passif, seperti saat yang lalu, maka demokrasi burjuis akan sepenuh-penuhnya hanya demokrasi untuk kelas burjuis. Dengan membangun gerakan aksi massa yang lebih besar, kemudian mendobrak masuk ke medan pemilihan umum secara lebih aktif, dengan membawa visi politik progressi-radikal (yang disampaikan dengan lantang dan jelas), maka golongan rakyat miskin bisa mengambil langkah permulaan dalam merebut medan pemilihan umum agar menjadi medan politik di mana visa dan kepentingan rakyat miskin juga bisa dipropagandakan.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *