Warga, Bukan Elit, yang Jadi Protagonis

Oleh: Danial Indrakusuma

Pada tanggal 24 Agustus, 2006, serentak warga dari 4 kelurahan di Jakbar, Jaktim dan Jakut, yang mengatasnamakan Posko Perjuangan Rakyat Miskin Kota (POPRAM), melakukan demonstrasi di kelurahan dan kecamatannya, bahkan di BULOG DKI Jakarta. Tuntutannya antara lain pembagian RASKIN; perbaikan jalan; pengasapan DBD gratis; buku pelajaran/seragam gratis; pengurusan KTP/KK gratis; pendidikan/kesehatan gratis; pemekaran RT bagi pemukiman (yang dianggap) liar; dan lain sebagainya. Jawabannya sudah bisa diperkirakan: akan ditampung dan diteruskan ke atas; atau masih kesulitan dana. Tapi ada jawaban yang di era reformasi seharusnya sudah tidak klise: intimidasi dan teror setelah demonstrasi (bahkan oleh preman yang dikerahkan RT). Jawaban sederhana bagi tuntutan warga yang dianggap masih “pelik”.

Aku jadi teringat warga kota Porto Alegre, Rio Grande do Sul, Brazil,  yang justru menyelesaikan tuntutan mereka sendiri dengan cara dan instrumen yang lebih berkualitas: DEMOKRASI; yang jawaban kategorial-kongkritnya adalah demokratisasi anggaran, atau yang mereka sebut Orcamento Participativo (Participatory Budget/Anggaran Partisipatoris/AP).

AP sudah diterapkan selama 15 tahun di tingkat kota (Porto Alegre), dan 4 tahun di tingkat negara bagian (Rio Grande do Sul). Dan AP telah menarik perhatian banyak kalangan masyarakat sipil, pimpinan pemerintahan dan akademisi di tingkat lokal, nasional maupun internasional—bahkan Konfrensi PBB tentang Habitat ke-II di Istambul, Juni 1996, menyebut AP sebagai salah satu dari 42 contoh terbaik dunia dalam manajemen kota. Karena AP dianggap sebagai instrumen yang kuat dalam mendristribusikan pembelanjaan publik, mendemokratiskan pengawasan terhadap pemerintahan lokal, dan mendorong mengaktifkan warga masyarakat. Kenapa bisa demikian?

Karena AP lebih menghargai kualitas demokrasi partisipatoris ketimbang demokrasi perwakilan; AP berhasil menyempurnakan demokrasi langsung ketimbang mendelegasikan keputusan melalui perwakilan. AP adalah proses demokrasi langsung, sukarela, dan universal, di mana warga diposisikan memiliki hak untuk mendiskusikan kemudian memutuskan kebijakan-kebijakan publik dan anggaran pemerintah. Partisipasi warga tidak sekadar dibatasi pada pencoblosan saat pemilu. Lebih dari itu, warga juga turut memutuskan dan mengawasi aspek-aspek kunci administrasi publik, anggaran kota dan investasi; warga lah, bukan elit, yang menjadi protagonisnya—bahkan dibedakan dengan populisme Peron-ian, yang menormakan elit sebagai protagonisnya. AP memang masih menganggap penting demokrasi perwakilan namun dinilai belum mencukupi dalam proses peningkatan demokrasi masyarakat. Dengan demikian, AP (demokrasi langsung) akan dihadapkan pada wakil rakyat dan eksekutif (demokrasi perwakilan)—yang bahkan diposisikan tak boleh memiliki hak veto. Aspek-aspek penting lainnya: AP tidak menganggap remeh kapasitas warga dalam mengelola (governing) pemerintahan/anggaran; AP juga diarahkan untuk meningkatkan solidaritas antar-warga dan menciptakan warga yang sadar. AP bisa disimpulkan merupakan capaian penting dalam kemanusiaan, setelah kegagalan (praxis, bahkan fisik) demokrasi ala Komune Paris dan Sovyet.

Ada dua cara dan ruang untuk warga yang hendak bepartisipasi dalam AP: secara territorial, di regional mereka tinggal; atau secara tematik, tergantung area subyek tertentu. Dalam pertemuan utama regional, warga memilih 4 prioritas tertinggi dari daftar pengangaran ke depan. Di pertemuan-pertemuan lokal yang lebih kecil warga akan memilih urutan prioritas pekerjaan dan layanan tertentu di pemukiman-regionalnya yang sesuai dengan 4 prioritas di atas. Sedangkan pertemuan tematik disediakan untuk membicarakan prioritas area subyek yang lebih besar/umum, dan juga untuk mewadahi unsur-unsur masyarakat yang tak bisa terlalu aktif dalam wadah teritorial, misalnya serikat buruh, gerakan mahasiswa, kebudayaan, lingkungan, pengusaha, pedagang kecil, dan lainnya. Dalam 1 tahun tahap-tahap yang harus dilalui oleh kedua struktur tersebut agar menghasilkan keputusannya adalah: pertemuan persiapan (Maret-April); babak awal petemuan majelis regional dan tematik  (April-Mei); babak lanjutan (sampai ke tingkat pemukiman warga) forum regional dan tematik (Mei-Juni/Juli); pertemuan besar majelis kota (Juli);  pertemuan penetapan akhir penganggaran dan perencanaan investasi (Juli-Desember); pertemuan untuk merubah aturan dan kreteria teknik AP yang akan digunakan pada tahun depan (November-Januari).

Kita akan lihat sebagian capain besar AP. Sebelum AP diterapkan: pelayanan publik sebagian besar lumpuh, infrastruktur perkotaan sebagian besar tak dipelihara, utang menumpuk, dan investasi menurun, karena salah urus serta korupsi. Setelah AP diterapkan: Porto Alegre, sekarang, pendapatan pajaknya meningkat hingga mencapai 50% dari pendapatan totalnya; 9tiga % warganya menerima pelayanan air bersih; 8tiga%-nya menikmati pelayanan kebersihan (termasuk saluran sanitasi);  250 Km jalan aspal telah dibangun (termasuk saluran gorong-gorongnya); antara tahun 1989-2000 pembelanjaan perumahan rakyat meningkat empat kali lipat; selama 10 tahun jumlah sekolah bertambah empat kali lipat; tingkat kegagalan pelajarnya menurun, dari 30% menjadi 10%; usaha-usaha komunitas mulai bisa dibiayai negara; pelayanan bis kotanya meningkat kuantitas dan kualitasnya—menyediakan tempat bagi penumpang berkursi roda; gaji buruh dan pegawai pemerintah kotanya selalu disesuaikan dengan inflasi; peningkatan pelayanan kesehatan dan infrastruktur perkotaan lainnya; dan, dalam 10 tahun terakhir, partisipasi warga dalam pertemuan regional dan tematik meningkat duapuluh kali lipat lebih, menjadi ribuan peserta.

Bisa kah kita mengambil hikmahnya? Ada syarat historis yang belum bisa kita penuhi. AP merupakan sumbangan Partai Buruh Brazil (Partido dos Trabalhadores/PT) bagi kota Porto Alegre dan negara bagian Rio Grande do Sol saat telah berhasil memenangkan calon-calonnya dalam pemilihan tingkat kota dan negara bagian, baik sebagai wakil rakyat maupun eskekutif. Dan komitmen untuk turut mendirikan PT (1980) merupakan cermin puncak kegemilangan perlawanan terhadap kediktatoran militer (1964-1980) dan penolakan kebijakan-kebijakan neoliberal (yang lebih memaksa sejak 1980). Dan yang terpenting: PT di kota dan negara bagian tersebut merupakan wujud toleransi (baca: kehendak bersatu) antara unsur-unsur kiri-tradisional, populis, sosial-demokrat, gerakan buruh dan teologi pembebasan. Tidak demikian hal nya PT di kota dan negara bagian lain, bahkan di tingkat nasionalnya: ditelikung kebijakan-kebijakan neoliberal, terlibat korupsi, dan menurun tingkat kemenangan elektoralnya.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *